Bismis Ritel
Carrefour Dinilai Dominan dalam
Peluang Persaingan Usaha Ritel
‘’setelah satu tahun mengakuisisi Gudang Rabat Alfa, posisi
Carrefour kini dinilai dominan dalam persaingan usaha ritel. Hal ini mengarah
pada terciptanya persingan usaha yang tidak sehat,’’ demikian dikemukakan oleh
Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Didik Akhmadi.
Pengembangan
usaha yang dilakukan Carrefour dengan membentuk Carrefour Express, penganti Alfa Gudang Rabat, diduga telah membuat
perusahaan ritel ini menguasai pangsa pasar sebesar 50 persen.
Didik
menjelaskan, walaupun lembaga survey The
Nielsen Indonesia mencatat pangsa pasar hypermarket
asal Prancis itu hanya 7 persen, data penelitian KPPU menunjukkan pangsa
pasar Carrefour bisa mencapai 50 persen.
Dampak
dari akuisisi yang dilakukan Carrefour, menurut KPPU, menimbulkan perilaku yang
merugikan. Kerugian itu antara lain pembutan perjanjian antara Carrefour dan
pemasok. Karena itu, lanjut Didik, KPPU mulai membentuk tim untuk melakukan
pemeriksaan pendahuluan.
Menanggapi
pernyataan KPPU, Direktur Corporate
Affairs PT Carrefour, Irawan D. Kadarman menyatakan sangat menyesalkan
tindakan KPPU yang sudah memublikasikan perkara ini. Pihaknya merasa belum
pernah diberi tahu atau diajak bicara mengenai hal ini.
‘’kalau
dituding telah memonopoli pasar, jelas tudingan itu tidak tepat. Kami
mengakuisisi Alfa Gudang Rabat, bukan minimarket Alfamart yang menejemennya
berbeda sama sekali’’, ujar Irawan.
Aset
Menurut catatan kompas,
Carrefour resmi mengumumkan akuisisi terhadap Alfa pada 21 januari 2008.
Peritel asal Prancis ini menandatangani kesepakatan pembelian persero denagn PT
Sigmantara Alfindo dan Prime Horizon Pte. Ltd., untuk membeli saham mayoritas
di PT Alfa Retailindo Tbk. Total saham yang dibeli 49,3 juta Euro, saat itu
sekitar Rp674 miliar.
Tahun
2006, Carrefour Indonesia memiliki hypermarket
29 gerai dengan besaran penjualan 627 juta Euro. Tahun 2007 menjadi 37
gerai, dengan penjualan Januari-September 2007, naik 14,4 persen dari periode
yang sama tahun sebelumnya.
Sementara
itu, PT Alfa Retailindo Tbk., pada tahun 2007 memiliki 29 gerai supermarket,
sebanyak 13 gerai, diantaranya berlokasi strategis di Jakarta dan sekitarnya.
Penjualan tahun 2006 tercatat Rp3.642 miliar atau sekitar 265 juta Euro.
Alfa
Retailindo merupakan perusahaan yang tercatatat di Brsa Efek Indonesia (BEI),
yang bisnisnya tersebar di seluruh Indonesia. Ini berbeda dengan Alfamart yang
dimiliki oleh PT Sumber Alfaria Trijaya.
Dari kasus ini dapat penulis
simpulkan bahwa kreativitas penangkaran aglaonema
yang dilakukan oleh Greg Hambali adalah aglaonema
yang paling diminati khususnya Indonesia adalah aglaonema yang berdaun merah dengan harga yang murah. Harga murah
menjadi pilihan bagi kebanyakan pembeli. Peluang usaha ditangkap melalui
kreativitas Greg Hambali melaui penangkaran aglaonema
yang memiliki pangsa pasar sesuai dengan harga dari yang paling murah
hingga yang paling mahal.
Dapat penulis simpulkan bahwa tantangan bisnis ritel local Indonesia
terdesak oleh ekspansi bisnis ritel global seperti Carrefour dal lambat laun
jika tidak diadakan pembatatasan izin operasional oleh pemerintah (hanya boleh
ekspansi di ota-kota besar Indonesia saja), maka niscaya cengkraman kuku mereka
akan semakin tajam dan lambat laun akan memusnahkan bisnis ritel, khususnya
minimarket local yang tidak mampu bersaiang, baik karena tidak mampu bersaing
dalam permodalan maupun juga faktor pengalaman manajemen. Apakah strategi ritel
asing seperti Carrefour dalam perizinan ekspansinya akan tetap dibuka lebar oleh
penguasa atau pemerintah (sebagai pemberi izin usaha, khususnya pemerintah
daerah ibukota provinsi hingga dibawahnya) negeri ini sampai ke pelosok-pelosok
desa di Indonesia atau perlu strategi pemikiran lain, sehingga peritel local
tidak semakin banyak yang gulung tikar? Carrefour menangkap peluang usaha
dengan ekspansi yang agresif melalui lemahnya system pemberian perizinan dari
pemerintah daerah yang selama inia ada.
Bila
pemerintah selaku pemberi perizinan perdagangan tidak memandang kepentingan keselamatan
rakyat Indonesia dan keberlanjutan ritel local, maka produk-produk unggulan
nasional justru dipasokan kepada hypermarket asing seperti Carrefour, sehingga
keuntungnya tidak lagi dinikmati oleh bangsa Indonesia sendiri, namun nilai
tambah dan keuntunganya akan dinikmati oleh bangsa asing karena secara
permodalan mereka yang lebih kuat, apalagi modal yang kecil (dalam bentuk
valuta asing di luar negeri) bila diinvestasikan di negaranya tidak berarti
apa-apa, namun jika dialirkan/diinvestasikan di Indonesia, sudah untung. Hal
ini karena secara nilai tukar valuta asing mereka bila ditukar dengan rupiah
sudah puluhan ribu kali keuntunganya. Sebagai ilustrasi, jika seorang investor
asing memiliki US$1 juta diinvestasikan dinegaranya tidak berarti apa-apa,
tetapi bila sejumlah tersebut diinvestasikan di Indonesia sudah menjadi
Rp9.000.000.000 (9 miliar, dengan asumsi nilai tukar US$1 menjadi Rp9.000)
saja. Dengan modal US$1 juta , sudah dapat minimal mendirikan 18 gerai Alfamart
(bila asumsi 1 gerai Afamart sebesar Rp500 juta).
Tidak
hanya itu, hal yang menghawatirkan bagi kita semua, kerugian lain atau dampak
negative dengan berdirinya hypermarket
suatu kota, yakni pedagang dan ritel local milik rakyat Indonesia yang
beroperasi di sekitarnya tidak dapat bersaing/bertahan alias bangkrut (berapa
tenaga kerja yang harus menganggur?). apakah hal ini tidak menjadi pertimbangan
besar bagi pengambil keputusan mengenai mudahnya pemberian perizinan bagi hypermarket yang akan melakukan ekspansi
di pelosok wilayah Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia lainya, data
penelitian ketua KPPU menunjukan pangsa pasar Carrefour dapat mencapai 50
persen.
dikutip dari buku "kewirausahaan: teori, praktik, dan kasus-kasus"
di tulis ulang oleh "kang abidin"